TEGAKKAN SYARIAH DAN KHILAFAH

Gema Pembebasan Unsri/ Bersatu, Bergerak, Tegakkan Ideologi Islam

.

.

Senin, 22 Desember 2014

"Mengapa demokrasi yang sudah banyak menjatuhkan pengusungnya ini masih juga dipakai? Padahal dari sisi hujjah/argumentasi, pihak yang pro demokrasi kalah daripada pihak yang kontra demokrasi.?"

================================================================





1) Secara umum, pihak yang pro demokrasi telah kalah argumen/hujjahnya. Mereka seolah tidak punya hujjah lagi untuk memperdebatkan "boleh-tidaknya mengambil demokrasi sebagai jalan perubahan". Dari sejak kasus tumbangnya FIS di Aljazair, kemudian Hammas di Palestina, hingga Ikhwanul Muslimin di Mesir, pihak yang pro dengan demokrasi, jarang sekali (atau bahkan hampir tidak ada) yang dengan lantang membuka diskusi tentang "boleh-tidaknya mengambil demokrasi sebagai jalan perubahan". Bisa jadi, tidak adanya kemauan mendiskusikannya dari pihak yang pro demokrasi, dikarenakan mereka sudah tidak lagi memiliki hujjah untuk membantah argumen pihak yang kontra demokrasi. Intnya dalam hal istidlal (berdalil), mereka kalah.

2) Karena sudah tidak memiliki hujjah/argumen lagi, maka mereka yang pro demokrasi menyandarkan perbuatannya (menerima demokrasi) pada argumen lain. Apa itu? Yaitu soal aktivitas yang mereka klaim "kerja konkret, riil, dan nyata". Ya, dan kenyataannya memang demikian. Dimana-mana perdebatan soal "boleh tidaknya mengambil demokrasi sebagai jalan perubahan" selalu diakhiri dengan kekalahan argumen pihak yang pro demokrasi. Karena sudah kalah hujjah/argumen, maka diskusi pun dialihkan ke topik lain, yaitu "apa yang sudah diperbuat pihak yang kontra demokrasi terhadap rakyat?" Ini banyak terjadi di berbagai diskusi, terutama di dunia maya. Jadi, topiknya pun beralih, dari topik A ke topik B. Padahal, aktivitas "kerja nyata, kongkret, dan riil" pihak yang pro demokrasi itu justru aktivitas yang jauh dari syariat Islam. Contohnya Indonesia, salah satu partai berbasis massa Islam di Indonesia, dari sejak pemilu 1999 sampai pemilu 2009, posisinya semakin kuat di parlemen. Di beberapa daerah pun semakin banyak memenangkan pilkada. Menurut logika teori perubahan secara bertahap (tadarruj), seharusnya kondisi Indonesia semakin hari semakin lebih baik. Tetapi kenyataannya tidak. Sejak jatuhnya presiden Suharto, sampai sekarang justru Indonesia kian liberal. Ini artinya, logika tadarruj, tidak berlaku, alias hanya angan-angan belaka.

Jadi, di kalangan pihak yang pro demokrasi, akan selalu berkembang pemahaman (doktrin), yaitu bahwa "Perdebatan tentang demokrasi sudah berakhir. Tidak perlu diperdebatkan. Sekarang saatnya bekerja, berbuat untuk rakyat." Demikian doktrin itu kemungkinan ditanamkan. Itu artinya, tidak ada ruang bagi aktivis muslim pro demokrasi yang ingin ngutak-atik dalil keabsahan mengadopsi demokrasi. Yang ditanamkan hanya "Sekarang saatnya kerja nyata, kerja kongkret, dan bekerja secara riil untuk rakyat. Ayo kerja, jangan hanya omong saja."

Padahal, dari aktivitas "kerja kongkret, riil, dan nyata" mereka itu, hasilnya: INDONESIA KIAN LIBERAL.
=============================================================

Jadi, jangan heran jika diajak bicara soal boleh-tidaknya demokrasi di ambil, para aktivis muslim yang pro demokrasi akan lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain. Misalnya, "Kalian itu nggak kerja nyata..", atau "Kalian itu omong doang..", atau "Kalian itu hipokrit...", atau "Mana kerja Gema ? Nggak ada!", atau "Sekarang saatnya bekerja, bukan memperdebatkan soal demokrasi.", atau yang sejenisnya. Yang jelas, akan mengalihkan pembicaraan.

Oleh : Agus Trisa
Editor : Novran Al Fatih

Masuk Parlemen Agar Parlemen Tidak Dikuasai Oleh Musuh-Musuh Islam?

Mereka menyatakan bahwa, jika kaum muslim tidak berhasil menguasai parlemen, atau jika parlemen dikuasai oleh musuh-musuh Islam, akan membahayakan eksistensi Islam dan kaum muslim. 
Sebab, parlemen merupakan lembaga yang akan memproduk aturan-aturan yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Jika parlemen dikuasai oleh orang-orang kafir, tentu pranata yang diterapkan akan merugikan umat Islam. Padahal, menghilangkan bahaya bagi kaum muslim merupakan kewajiban. 

Mereka mengetengahkan kaedah fiqh yang sangat masyhur, “Al-dlarar yuzaalu” [bahaya harus dihilangkan], dan “ al-Ashl fi al-madlaari al-tahriim” [hukum asal dari bahaya adalah haram]

Bantahan Atas Argumentasi
Argumentasi tersebut tertolak berdasarkan kenyataan-kenyataan berikut ini.

1. fakta sekarang justru menunjukkan, bahwa parlemen yang ada di negeri ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir, ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas kaum muslim, bukan non muslim.

Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk jebakan politik (political trap) kaum kafir terhadap kaum muslim. Dengan kata lain, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah merelakan dirinya dikuasai oleh scenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam.

Untuk itu, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur. Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam proses pemilu dan parlemen, sudah sangatlah jelas. Hampir di setiap pemilu, mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan panduan. Bahkan, dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.

Kita bisa bertanya, apakah semua hal yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau justru untuk menghancurkan umat Islam?
Jawabnya, tentu tidak. Konsens mereka terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan (dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.

Fakta juga menunjukkan, bahwa walaupun parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berfikir dan menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan dengan syariah. Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri. Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem demokrasi kufur ala barat.

Siapapun yang berkecimpung di dalam parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Parlemen yang ada di negeri ini, diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Lembaga parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Ini membuktikan bahwa berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.

Fakta ini juga menunjukkan, bahwa justru sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi aqidah umat. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini, parlemen harus dihapuskan, bukan malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut parlemen dan pemilu.

Atas dasar itu, kaedah “bahaya harus dihilangkan” dan “hukum asal dari bahaya adalah haram”, justru berlaku bagi mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen. Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri, bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.

Akan tetapi mereka mengajukan argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak.

Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka? 

Bukankah, ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang diubah? 

Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik, didesain untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekuler itu sendiri. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti mekanisme mereka?

 Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita.

Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar’iyyah dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. “Al-ghayat laa tubarrir al-washiitah”[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat “menyetubuhi ibu anda sendiri”, apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk menerapkan syari’ah? Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syarat-syarat untuk bermain di parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy.

Misalnya, kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam. Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu, adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam. Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram. Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.

Keterangan di atas juga menunjukkan, bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.

Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan mendapatkan madlarat adalah anggapan premature yang harus ditolak. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah –dengan sistem seperti sekarang ini– yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak berkecimpung dalam parlemen.

Bahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari sistem yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Rasulullah saw bersabda:
“Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridloi dan mendiamkan kedzaliman serta kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.

Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar parlemen.

2. dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ‘aqidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya, selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat tersebut harus ditolak.

Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran yang syaratnya bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Allah swt.

Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.

Seorang muslim tidak boleh berfikir kebalikannya, yakni mengedepankan pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih-lebih lagi rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan komitmen dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah mendapatkan tawaran kekuasaan –dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan menjadi seorang penguasa—akan tetapi beliau menolak tawaran tersebut, apapun resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi pemilu dan parlemen dengan syarat dan sistem seperti sekarang ini.


KEBOHONGAN PENGUSUNG DEMOKRASI.

                     

1. Dalam demokrasi ada musyawarah, sedangkan dalam Islam ada syura. Sehingga Islam membolehkan demokrasi.?

Ø  Syuro dalam Islam sangat berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi.
Ø  Syuro hanya membahas perkara-perkara yang sifatnya mubah. Dalam syuro tidak dibahas hukum-hukum yang qath’i.
 Contoh :
Zina, Riba, Mabuk, itu Haram ( dalilnya Qath’i)
Tidak boleh di musyawarahkan Seperti dalam Sistem demokrasi.
   Ã˜  Akibatnya :
Zina : Di Lokalisasi.
Riba : Di Fasilitasi
Khamr : Di Legalisasi
   Ã˜  Menyamakan satu sisi dari dua perkara yang sangat berbeda, amatlah tidak tepat.
   Ã˜  Menyamakan antara Islam dan demokrasi hanya dalam masalah musyawarah, tanpa melihat                         sisi lainnya. Seperti makna demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat. yang berhak membuat hukum             adalah rakyat. Sedangkan Islam, yang berhak membuat hukum hanyalah Allah.
   Ã˜  Jadi Janganlah Menyamakan Manusia Dengan Monyet hanya karena masing-masing memiliki                       2 tangan, atau mobil dengan becak hanya karena masing-masing memiliki roda.
   Ã˜  Itu Perbuatan Bodoh ‪#‎Ech


2. Dalam demokrasi pemilihan PRESIDEN dengan pemilu, Islam pun Bisa mengunakan Pemilu Sebagai “Sarana” memilih KHALIFAH.

   Ã˜  Pemilu adalah sarana untuk memilih pemimpin.
   Ã˜  Hukum asal sarana adalah mubah.
   Ã˜  Namun ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan :
    “Sarana yang dipergunakan untuk keharaman, maka hukumnya            menjadi haram”.
   Ã˜  Pemilu yang hukum asalnya mubah, namun dipergunakan untuk melanggengkan KEKUFURAN                   DEMOKRASI (karena menganggap boleh ada pihak lain yang berhakmembuat hukum selain Allah),           maka hukum pemilu tersebut HARAM.



3. DEMOKRASI hanya Sarana (kendaraan) perkara ijtihad saja dalam dakwah.
   Ã˜  Ijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan           segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.
   Ã˜  Sekali lagi Bersifat Zanni Bukan Qath’i.

   Ã˜  Firman Allah :
"Sesungguhnya hukum itu milik Allah."(TQS. Yusuf : 40)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”
(TQS. al-An’aam 57)
   Ã˜  Ayat ini bersifat qath’i (pasti), bukan dzanni.
   Ã˜  Sehingga perkara Membuat Hukum Merupakan Hak Prerogatif Allah Semata.
   Ã˜  Dan tidak boleh ada pihak lain (selain Allah)
   Ã˜  yang berhak membuat hukum. (ini bukan lagi wilayah ijtihad).
   Ã˜  Semua Hukum Wajib Digali dan Di Adobsi dari Al Quran dan Al Hadits.



Selasa, 09 Desember 2014

Nasionalisme dalam Islam, Adakah Konsepnya ????

                           
  
Nasionalisme (paham kebangsaan) adalah paham yang meletakkan bangsa sebagai sentrum atau pusat orientasi. Hans Kohn, sebagaimana dikutip oleh Ziauddin Sardar dalam buku Rekayasa Masa Depan Islam, mendefinisikan nasionalisme sebagai: “keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”.

Nasionalisme adalah ide absurd. Ia muncul dari nafsu egoisme jahiliah semata. Nasionalisme adalah ikatan emosional atas dasar kesamaan suku/bangsa atau etnik, termasuk tanah air (wathaniyah). Karena itu ikatan nasionalisme dikatakan sebagai ikatan yang rendah.

Islam dengan tegas juga menolak nasionalisme. Islam mengharamkan propaganda ‘ashabiyah (fanatisme golongan) atas dasar kesukuan/kebangsaan (qawmiyah), termasuk tanah air (wathaniyah). Rasulullah saw. yang mulia bersabda,
 “Siapa saja yang menyerukan ‘ashabiyah (fanatisme golongan) tidak termasuk golongan kami (kaum Muslim).” (HR Abu Dawud).

Nasionalisme termasuk di antara seruan-seruan jahiliah. Berbangga-bangga dengan ‘ashabiyahjahiliah dikecam keras oleh Rasulullah saw.,

 “Sungguh hina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka; atau mereka itu akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada seekor ju’al (sejenis hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani).



Orang-orang yang menyerukan ‘ashabiyah dan berperang atas nama ‘ashabiyah, lalu mati, maka matinya sama dengan mati dalam keadaan jahiliah. Rasulullah saw. menyatakan,

“Siapa saja yang berperang di bawah panji kejahilan—dia marah karena ‘ashabiyah, atau menyerukan ‘ashabiyah, atau ikut menolong dalam rangka ‘ashabiyah—lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah.” (HR Muslim).

Akibat nasionalisme juga sangat buruk. Umat Islam yang kini berjumlah lebih dari 1,6 miliar terpecah ke dalam lebih dari 50 negara kecil-kecil. Umat menjadi sangat lemah, tidak mampu menjaga ’izzul Islam wal Muslimin. Mereka pun gagal membendung makar musuh-musuh Islam.

Akibatnya, penjajahan atas negeri-negeri Muslim dalam berbagai bentuknya makin kokoh; baik di lapangan ekonomi (melalui pemberian utang luar negeri dan sebagainya), di bidang politik (melalui paham sekularisme, demokrasi, HAM dan sebagainya), maupun di bidang budaya (melalui budaya Barat yang permisif)dan sebagainya.

 Akibat lainnya adalah adanya pertikaian antar negeri Muslim akibat perbedaan kepentingan dan politik devide et impera kafir penjajah; misalnya konflik Iran–Irak, Indonesia–Malaysia, Irak-Kuwait, dll. Umat Islam juga menjadi lemah dalam menghadapi musuh. Penyerbuan AS atas Irak, misalnya, berlangsung begitu saja tanpa sedikit pun bisa dicegah oleh negeri-negeri muslim.

Nasionalisme bisa memunculkan fanatisme luar biasa terhadap bangsa dan tanah airnya sehingga bisa mendorong orang untuk rela berjuang bagi tanah air dan bangsanya itu. Ini wajar belaka karena nasionalisme memang sesuatu yang serba emosional. Masalahnya, semangat pembelaan itu tidak lagi melihat apakah yang dibela itu benar atau salah, seperti doktrin “wright or wrong is my country”.

Nasionalisme telah membutakan orang pada kebenaran. Nasionalisme juga mengingkari persaudaraan universal di antara umat Islam. Di medan perang, prajurit yang sama-sama Muslim akan mengalami dilema. Dengan dorongan nasionalisme, dia kadang harus membela negerinya dan membunuh pasukan lawannya yang juga Muslim. Padahal ia tahu, membunuh sesama Muslim tanpahaq itu dosa besar. Mana yang harus diikuti?

Para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Cuk Nyak Dien atau Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari dan yang lainnya, yang begitu gagah berani berjuang melawan penjajah Belanda itu sesungguhnya didorong oleh semangat jihad, bukan oleh semangat nasionalisme sempit tadi. Islam memang memerintahkan kita untuk melawan siapa saja yang menyerang kita. Dengan kerangka ini, kita bisa memahami lahirnya “resolusi jihad” KH Hasyim Asy’ari, yang mampu menggerakkan perlawanan terhadap pasukan Belanda ketika itu.

 Perlawanan atas dasar nasionalisme dan patriotisme seperti itu tidak akan langgeng karena bersifat emosional dan tidak didasarkan pada pemikiran dan landasan yang kokoh. Karena itu dalam tataran praktis seperti terlihat di era sekarang ini, banyak sekali orang, kelompok atau partai yang notabene menyebut diri nasionalis, dengan mudah menggadaikan prinsip nasionalisme demi meraih keuntungan sesaat. Bahkan tidak jarang mereka justru berubah menjadi antek penjajah.

Lihatlah, dalam masa kepresidenanya yang tidak terlalu panjang, Megawati, yang sering disebut sebagai representasi kekuatan nasionalis, ternyata tidak sedikit mengambil kebijakan yang kerap dituding sangat tidak nasionalis. Di antaranya yang paling banyak disorot adalah penjualan Indosat, berikut anak dan cucu perusahaannya, kepada Singtel senilai sekitar Rp 5 triliun.

 Lalu, beberapa bulan sebelum lengser, Mega juga sempat menandatangani amandemen UU yang berisi larangan menambang di hutan lindung yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya. UU ini sangat ditentang oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar seperti Freeport, Newmont dan lainnya karena menghambat laju ekspansi eksplorasi tambang mereka. Menurut informasi yang sangat bisa dipercaya, sebelum UU itu terbit, Freeport telah mengeluarkan dana lebih dari 120 juta USD untuk melakukan eksplorasi hingga ke wilayah Puncak Soekarno. Hasilnya, mereka menemukan cadangan emas yang jauh lebih besar dari yang ditemukan selama ini.

Oleh karena itu, mereka kemudian berusaha dengan segala cara untuk membatalkan UU itu. Usaha mereka berhasil. Megawati yangngaku nasionalis, membatalkan UU yang sebenarnya sangat bagus untuk melindungi kekayaan alam negeri ini, yang kabarnya memang dibuat untuk menghentikan ekspansi Freeport.

Bukan hanya Mega, SBY pada masa kepemimpinannya juga tidak sedikit melakukan tindakan yang dituding a-nasionalis, seperti menyerahkan blok kaya minyak Cepu ke Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina yang notabene adalah perusahaan milik negara.

Merujuk pada sejarah, justru faktor Islamlah yang mendorong para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Cuk Nyak Dien atau Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari dan lainnya berani berjuang melawan penjajah. Karena Islam pula HTI berjuang untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman kapitalisme, liberalisme dan sekularisme. Inilah kecintaan pada tanah air yang benar; bukan seperti orang-orang itu, yang ngaku nasionalis, tetapi tindakan mereka justru sering merugikan negara dan bangsa ini.

Nasionalisme Sangat berbahaya. Ingat, sejarah telah membuktikan paham nasionalismelah yang telah menjadi biang kehancuran Khilafah dan memporakporandakan persatuan umat. Ahmad Zain an-Najah MA, mengutip pakar sejarah Mahmud Syakir dalam buku Tarikh Islam Daulah Utsmaniyah, menyebutkan bahwa sarana untuk menghancurkan kekuatan Khilafah Islam di Turki waktu itu tak lain adalah dengan menghidupkan paham nasionalisme.

Diawali dengan gerakan men-Turki-kan Daulah Utsmaniah, mereka menjadikan srigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam) sebagai simbol dari gerakannya tersebut. Lalu diikuti dengan menyebarkan rasa permusuhan kepada bangsa Arab, di antaranya dengan mencopot Kementerian Wakaf, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri, yang ketika itu dipegang oleh orang-orang Arab, diganti dengan orang Turki. Gerakan itu membuat bangsa Arab berang. Akibatnya, dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab”, yang dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Irak dan Hijaz.

Bermula dari pelataran Bumi Syam, fanatisme ini lalu berkembang dan membesar ke berbagai negara. Ketika pecah Perang Dunia I pada tahun 1914-1918, ini dipandang sebagai kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniah dengan mendirikan “Khilafah Arabiyah”. Dengan sigap, Inggris memanfaatkan situasi ini untuk menghancurkan kekuatan Islam. Mereka kemudian mengutus “Lorence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan “Lorence Arab”. Dengan arahan Lorence Arab, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan Khilafah Utsmaniah.

Nasionalisme pula yang membuat umat Islam kini sulit bersatu melawan pihak musuh. Lihatlah di Timur Tengah. Kita tidak pernah bisa melawan kezaliman Israel dan menghentikan penjajahan mereka atas tanah Palestina. Mesir merasa tidak punya urusan lagi dengan Israel setelah Gurun Sinai kembali ke pangkuan Mesir. Begitu juga Yordania, Libanon dan Syria setelah Tepi Barat Sungai Yordan, Libanon Selatan dan Dataran Tinggi Golan kembali kepada mereka masing-masing. Walhasil, Palestina yang sudah demikian tertindas itu sekarang harus berjuang sendiri melawan Israel yang mendapat topangan AS dan negara Barat lain.

 >> Kalau Islam menolak nasionalisme, otomatis Khilafah itu bukan negara-bangsa?

Iya. Negara-bangsa itu kan menganut prinsip static-border, sedangkan Khilafah itu dinamic-border; batas negara akan selalu berubah seiring dengan perkembangan dakwah dan jihad. Bila dakwah dan jihad berhasil dan futuhat atau penaklukkan terjadi di mana-mana, maka tapal batas negara Khilafah juga akan terus berubah, meluas dan membesar sebagaimana terjadi pada masa lalu. Pada awalnya, Daulah Islam hanya sebatas kota Madinah, namun kemudian berkembang hingga Makkah, dan di ujung hayat Rasululah saw. sudah berkembang hingga seluruh Jazirah Arab. Bahkan pada puncaknya, Khilafah Islam telah meluas hingga menguasai hampir 2/3 belahan dunia.

>> Bagaimana dengan istilah “khilafah nasional” yang baru-baru ini dimunculkan?

Itu istilah campur-aduk. Maunya menerima ide khilafah, tetapi tak mau meninggalkan nasionalisme dan negara-bangsa. Mana bisa? Itu dua ide yang bertolak belakang. Sekali kita menerima Khilafah, pasti hilang itu nasionalisme dan negara-bangsa. Begitu sebaliknya.

>> Bagaimana tren terkait ide negara-bangsa (nation-state) itu ke depan?

Dengan berbagai kecenderungan global saat ini, apalagi didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sebenarnya nation-state itu makin kehilangan relevansinya. Lihatlah bagaimana negara-negara Eropa Barat akhirnya bergabung ke dalam Uni Eropa. Mereka sadar, ketika berdiri sendiri-sendiri, mereka lemah. Bila digabung akan menjadi kuat. Terbukti, kini Uni Eropa makin lama makin berkembang dan kuat. Pada awalnya hanya diikuti oleh hanya 12 negara, sekarang tidak kurang dari 28 negara ikut dalam Uni Eropa.

Saat mata uang Euro diluncurkan, misalnya, langsung menguat terhadap dollar Amerika Serikat. Kalau dibiarkan bertarung secara fair, bukan tidak mungkin mata uang Euro betul-betul akan menguasai dunia. Konon, salah satu faktor mengapa AS menyerang Irak tidak lain adalah untuk menghentikan tindakan Saddam Hussein yang berencana mengubah denominasi pembayaran ekspor minyak Irak dari dolar AS ke euro. Kalau rencana Saddam itu dibiarkan, itu akan menjadi sebuah bencana besar bagi dolar AS karena uang yang beredar dalam bisnis minyak sangat besar; konon lebih dari 400 miliar dolar AS perhari. Kalau semua diganti dengan euro, pasti dolar akan terpuruk.

Ini satu bukti bahwa pembentukan Uni Eropa ternyata berimplikasi sangat serius dan nyata. Nah, gagasan Uni Eropa yang tidak punya basis historis (kalaupun ada sebatas romantisme kejayaan Romawi), basis teoretis maupun basis teologis saja bisa terwujud, apalagi Khilafah Islam. Ide Khilafah Islam punya semua basis; baik basis teologis, teoretis, maupun historis, apalagi rasionalitas. Kalau Khilafah Islam tegak, ia akan menyatukan lebih dari 1,6 miliar umat Islam seluruh dunia. Itu sebuah jumlah yang sangat besar.

>> Bagaimana dengan anggapan bahwa Khilafah itu utopis?

Orang boleh ngomong apa saja. Yang pasti, Khilafah itu pernah ada pada masa lalu. Khilafah mampu menaungi berbagai bangsa dalam sebuah persaudaraan universal atas dasar akidah Islam serta mewujudkan sebuah peradaban agung yang dicatat oleh tinta emas sejarah.

Memang, upaya mewujudkan Khilafah kembali saat ini tidaklah mudah, namun tidak berarti utopis, karena utopis itu sama dengan mustahil. Faktanya, Khilafah pernah ada lebih dari 13 abad. Dengan dukungan umat Islam seluruh dunia yang makin menyadari bahwa tidak ada masa depan buat umat ini kecuali di bawah Islam, pasti Khilafah akan tegak kembali. Insya Allah. Bahkan kita bisa mengatakan, tegaknya Khilafah adalah sebuah kepastian, karena mana ada janji Allah tak pasti? []

Rabu, 03 Desember 2014

Aksi Gema Pembebasan Daerah Indralaya ‘’ Menolak Pencabutan Subsidi BBM dan Liberalisasi Migas’’


Rabu, 03/12 - Meski dalam keadaan cuaca yang cukup terik, Mahasiswa Gema Pembebasan Daerah Indralaya  tetap menggelar aksi Tolak Pencabutan Subsidi BBM dan Liberalisasi. Aksi ini dilakukan dengan longmarch dari gerbang Kampus UNSRI menuju Patung Timbangan sambil mendorong motor dan dilanjutkan menuju ke Gedung DPRD ini mengkritisi kebijakan rezim baru 'Jokowi' yang telah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) pada tanggal 18 November kemarin, mengubah harga BBM Premium yang sebelumnya Rp. 6.500,- /Liter menjadi Rp. 8.500,- /Liter.

Ferdy Hirawan sebagai Orator pertama menyampaikan kebatilan dan kerusakan sistem kapitalisme dalam tata kelola migas” naiknya harga BBM ini adalah keniscayaan yang pasti dengan diterapkannya sistem kapitalisme dimana penguasa berselingkuh dengan para pengusaha yang entah itu asing maupun swasta.  Ditambahkan oleh Andri, ''bukti negri ini sedang dijajah,  terindikasi dari banyaknya campur tangan asing dalam sistem tata kelola migas di negri ini yang hampir 80 % mereka kuasai''

Dilanjutkan oleh Ketua komsat GP UNSRI, Novran Sulisno dalam orasinya juga menyampaikan bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang zolim, bohong dan mengkhianati rakyat sendiri karena sangat jelas hal ini hanya menguntungkan pihak asing. Alasan-alasan yang digunakan untuk naikkan harga BBM pun dinilai cenderung dipaksakan dan penuh tipu daya. Membengkaknya subsidi BBM dikambing hitamkan rezim baru sebagai penyebab jebolnya APBN. "Justru, faktor yang membuat APBN jebol adalah hutang luar negeri".  Ia Menambahkan bahwa pengguna BBM mayoritas adalah rakyat kelas bawah, yaitu sebesar 75% dari total pengguna kendaraan bermotor. Oleh karenanya alasan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran dinilai alasan yang mengada-ada.

            Novin, Sebagai koordianator Gema Pembebasan Indralaya, menjelaskan apapun alasan yang dilontarkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah kedzoliman dan kebohongan yang sangat nyata. "mengutip pernyataan Kwik Kian Gie,
Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) ditambah biaya pengilangan (refinering) ditambah lagi dengan biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin adalah USD24,1 per barel (laman ESDM) atau jika dalam rupiah 24,1:159 x 12.100= Rp1.834 per liter. "Jadi Pemerintah kalau impor dari minyak mentah dunia untung Rp580," (Republika, 2014) Maka Harga BBM yang sebelumnya Rp. 6.500,- sudah cukup memberi keuntungan bagi pemerintah.

Arta menambahkan bahwa dampak dari kenaikan BBM ini sangat mengkhawatirkan, dimana masyarakat yang miskin akan semakin miskin dan itu terlihat dari melesatnya berbagai kebutuhan pokok, biaya transportasi, dll. Bahkan kebijakan dengan memberikan 3 kartu sakti ala rezim jokowi juga tidak menyelesaikan masalah, tidak dapat menutupi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat akibat lonjakan harga ditambah lagi kebijakan ini adalah sementara sebegai peredam kemarahan rakyat.

Dan Orasi selanjutnya dilakukan di depan gedung kantor DPRD Kabupaten Ogan Ilir, oleh Anton yang mengungkap pengkhianatan penguasa di balik naiknya harga BBM Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan sikap GEMA Pembebasan terkait kenaikan harga BBM oleh Novin, yang terdiri dari beberapa poin penting :

              Dilanjutkan Penyampaian tanggapan dari wakil ketua DPRD langsung, aksi pun berakhir dengan pembacaan doa. Aksi ini diliput oleh wartawan media nasional,yang menurut informasi disiarkan di TV SWASTA Indosiar, PAL TV dan Trans TV dan aksi ini berlangsung dengan damai dan lancar, Aparat Keamanan mengawal aksi tersebut hingga selesai. [NS]



Foto Aksi BBM :



Komentar Sahabat

Download Ebook Pemikiran Gratis

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

JOIN WITH US

JOIN WITH US

SEKRETARIAT

SEKRETARIAT