Mereka menyatakan bahwa, jika kaum
muslim tidak berhasil menguasai parlemen, atau jika parlemen dikuasai oleh
musuh-musuh Islam, akan membahayakan eksistensi Islam dan kaum muslim.
Sebab,
parlemen merupakan lembaga yang akan memproduk aturan-aturan yang akan
diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Jika parlemen dikuasai oleh orang-orang
kafir, tentu pranata yang diterapkan akan merugikan umat Islam. Padahal,
menghilangkan bahaya bagi kaum muslim merupakan kewajiban.
Mereka mengetengahkan
kaedah fiqh yang sangat masyhur, “Al-dlarar yuzaalu” [bahaya harus
dihilangkan], dan “ al-Ashl fi al-madlaari al-tahriim” [hukum asal dari bahaya
adalah haram]
Bantahan Atas Argumentasi
Argumentasi tersebut tertolak
berdasarkan kenyataan-kenyataan berikut ini.
1. fakta sekarang justru menunjukkan, bahwa parlemen yang ada di negeri
ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di
keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang
diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi,
peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa
kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir,
ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas
kaum muslim, bukan non muslim.
Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim
dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk jebakan politik (political
trap) kaum kafir terhadap kaum muslim. Dengan kata lain, keterlibatan kaum
muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah
merelakan dirinya dikuasai oleh scenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan
syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem
pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari’at
Islam.
Untuk itu, keterlibatan kaum muslim
dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur. Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan
kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan
ada lagi yang bisa menghalangi. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam
proses pemilu dan parlemen, sudah sangatlah jelas. Hampir di setiap pemilu,
mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan panduan. Bahkan,
dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk
memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.
Kita bisa bertanya, apakah semua hal
yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau
justru untuk menghancurkan umat Islam?
Jawabnya, tentu tidak. Konsens mereka
terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan
(dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan
keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk
melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.
Fakta juga menunjukkan, bahwa walaupun
parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini
tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berfikir dan
menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan
dengan syariah. Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh
orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri.
Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem
demokrasi kufur ala barat.
Siapapun yang berkecimpung di dalam
parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan
kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan
aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota
parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen
tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Parlemen yang ada di negeri ini,
diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam.
Lembaga parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan
aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Ini membuktikan bahwa
berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.
Fakta ini juga menunjukkan, bahwa justru
sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan
kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi aqidah umat. Oleh
karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini, parlemen harus dihapuskan, bukan
malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan
parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar
justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut
parlemen dan pemilu.
Atas dasar itu, kaedah “bahaya harus
dihilangkan” dan “hukum asal dari bahaya adalah haram”, justru berlaku bagi
mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen.
Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung
perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri,
bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah
menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.
Akan tetapi mereka mengajukan
argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen
justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam
dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak.
Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu
dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka?
Bukankah,
ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang
diubah?
Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah
mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan
mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik, didesain untuk
melanggengkan sistem demokrasi-sekuler itu sendiri. Lantas, bagaimana bisa
dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti
mekanisme mereka?
Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah
mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita.
Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar’iyyah
dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya
menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. “Al-ghayat laa
tubarrir al-washiitah”[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda
diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat “menyetubuhi
ibu anda sendiri”, apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk
menerapkan syari’ah? Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat
jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syarat-syarat untuk bermain di
parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy.
Misalnya,
kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan
dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka
tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam.
Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu,
adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas
haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam.
Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan
sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih
pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram.
Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di
dalam Islam.
Keterangan di atas juga menunjukkan,
bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik
sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.
Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan
mendapatkan madlarat adalah anggapan premature yang harus ditolak. Kenyataan
justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah –dengan sistem seperti sekarang ini–
yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak
berkecimpung dalam parlemen.
Bahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib
menjauhkan dirinya dari sistem yang bertentangan dengan aqidah dan syariah
Islam. Rasulullah saw bersabda:
“Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya
(kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas
(tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi,
siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan
berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan
kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem
aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya,
siapa saja yang meridloi dan mendiamkan kedzaliman serta kekufuran yang
dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah
swt.
Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya
yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa
parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari
mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah
perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui
perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi
Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar
parlemen.
2. dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku
rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari
kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan
kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak
tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka
disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip ‘aqidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya,
selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat
tersebut harus ditolak.
Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw
rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah
Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap
berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran
yang syaratnya bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Allah swt.
Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat
dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka
seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan
syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.
Seorang muslim tidak boleh berfikir kebalikannya, yakni mengedepankan
pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih-lebih
lagi rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu
didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan
komitmen dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah
mendapatkan tawaran kekuasaan –dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan
menjadi seorang penguasa—akan tetapi beliau menolak tawaran tersebut, apapun
resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada
menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang
muslim menyikapi pemilu dan parlemen dengan syarat dan sistem seperti sekarang
ini.